SAPAAN KHAS PAK ZUL SI TUKANG POS
foto : holydayinsight.com |
Sore itu, seperti hari-hari sebelumnya, Pak Zul asyik merawat sepedanya. Sepeda kuno itu telah menemaninya tugas selama 30 tahun. Sudah sebulan Pak Zul dan sepedanya tidak pernah kelihatan mondar-mandir lagi di jalanan kampungku. Kata orang tuaku, sekarang beliau sudah pensiun. Dan tugas mengantar surat di kampungku kini digantikan oleh orang baru. Usianya lebih muda dan dalam menjalankan tugas sudah tidak memakai sepeda lagi tetapi sudah memakai sepeda motor. Aku merasa kehilangan Pak Zul. Aku kehilangan sapaan khasnya. Aku kehilangan senyum tulus layaknya kakek kepada cucunya. Aku kehilangan orang, yang setiap beliau mengantar surat kerumah selalu menghadiahkan sebutir permen gula asem kepadaku. Warga sekampung merasa kehilangan beliau.
Sore itu, aku dan dua temanku mau bersilaturahmi ke rumahnya.
"Assalamu'alaikum, Pak Zul," sapaku memberanikan diri ketika sore itu aku sampai di rumahnya.
Mendengar salamku, Pak Zul seketika menghentikan kesibukannya membersihkan sepedanya. Sambil membetulkan letak kacamatanya. dia bergegas menemui kami.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu," jawabnya "Eeee...cucu-cucuku. Ayo masuk, jangan cuma berdiri didepan pintu saja. Hoi..hoi..hoiiiiiiiiiiii....Ayoo...ayooo...duduk dulu, cucuku."
Mendengar sapaan khas dan keakraban Pak Zul, terasa terobati rasa kangenku seperti ketika beliau masih aktif mengantar surat ke setiap rumah kami.
"Terima kasih, Pak Zul. Tapi... sepertinya kita enak ngobrol di teras sini saja, Pak. Udaranya lebih sejuk."
"Eitsss....cucu-cucuku nggak mau menikmati permen gula asem yang ada di dalam rumah lagi, ya?" demikian rayunya.
"Enak di luar saja, Pak, lebih santai dan bebas ngobrolnya." pinta kami.
Nampaknya Pak Zul tidak mau terus memaksaku lagi. Dia masuk rumah sebentar, lalu keluar menemui kami sambil sambil membawa setoples permen gula asem.
"Asyiiiikkkk," pikir kami sambil terus memperhatikan dan membayangkan kelezatan setoples permen gula asem yang dibawa Pak Zul.
"Memangnya ada keperluan apa... jauh-jauh kok menemui Bapak?" tanya Pak Zul kemudian.
"Pak Zul, kenapa sih tidak mengantar surat lagi ke kampung kami? Kami kehilangan orang baik seperti bapak. Kami kangen sapaan bapak. Kami....,"
"Hoi...hoi...hoiiiiiiii...." kata Pak Zul memotong ucapanku "Kamu ini lucu, cucuku. Bapak ini sudah tua dan telah mencapai batas usia pensiun seperti yang telah ditetapkan pemerintah kita. Semua pegawai negeri juga mengalami seperti yang bapak alami yaitu masa pensiun. Bapak sudah pensiun. Dan tugas bapak sudah selesai. Tugas bapak sekarang digantikan oleh orang yang usianya lebih muda. Pegawai yang punya semangat baru. Dalam bertugas, mereka menggunakan sepedamotor sehingga surat akan lebih cepat sampai ke alamat tujuan."
"Tapi, Pak. Seharusnya ada pengecualian buat orang sebaik bapak!" kataku dengan penuh harap "Orang sebaik bapak, seharusnya mendapat prioritas tambahan masa kerja. Sebab bagi kami, bapak adalah panutan kami. Bapak adalah pemberi semangat kami. Bapak adalah segalanya buat kami."
"Hoi...hoi...hoiii....astaghfirullah...kamu nggak boleh bilang begitu, cucuku. Dalam masalah tugas, memang aturan pemerintah kita seperti itu. Tidak ada pengecualian terhadap siapapun juga. Kalau sudah sampai batas umur pensiun... yaaa mereka harus segera pensiun apapun alasannya. Bapak selalu taat peraturan. Dan lagi, bapak tidak mau dikultuskan atau dipuja-puja, cucuku. Memang menurut kalian, bapak adalah orang baik, perhatian dan sebagainya. Tetapi perlu kalian diketahui, bahwa bapak ini adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan."
"Tapi...pak, kami merasa kehilangan bapak...!!"
Pak Zul terdiam sesaat. Menarik nafas dalam dalam-dalam.Lalu, beliau duduk di sebelahku. Aku lihat air matanya mengalir membasahi pipi. Aku tak kuasa menahan rindu layaknya cucu kepada kakeknya. Dan, segera aku peluk tubuhnya erat-erat. Demikian pula Pak Zul memelukku erat-erat.
"Pak Zul, kami rindu keakraban, sapa, dan tawa seperti saat bapak bertugas dulu."
Pak Zul masih memelukku semakin erat. Dan dengan nada yang terbata-bata dia mencoba menghiburku.
"Baiklah, cucuku. Insyaallah mulai besok, bapak akan mengunjungi kalian lagi. Bapak akan melakukan hal-hal seperti yang bapak lakukan saat bertugas dulu. Bapak akan memberi kalian permen gula asem setiap kali berkunjung ke rumah kalian"
Mendengar ucapan Pak Zul membuat kami senang. Pak Zul mau mengunjungi rumah kami lagi, katanya.
"Jadi bapak mau mengunjungi kami lagi? Mau ke rumah kami lagi?Alhamdulillah....horeeee....horeeee....terimakasih, Pak Zul" kata kami kegirangan.
"Tapi ingat, cucuku. Kali ini, Bapak tidak akan mengantar surat kepada kalian lagi lho! Dan perlu diingat, bapak mau melakukan hal ini karena bapak menginginkan kalian menjadi anak pintar, menjadi anak sholeh dan sholehah berbakti kepada orang tua Bapak ingin agar kelak kalian bisa menjadi generasi penerus bangsa yang bisa bersaing dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Kalian berjanji?!"
"Terimakasih, Pak...insyaallah kami berjanji akan melakukan apa yang bapak cita-citakan."
Pak Zul tersenyum. Kami tertawa riang sambil menikmati permen gula asem bikinannya.
"Akhirnya, besok kami akan bisa mendengar sapaan khas Pak Zul si tukang pos :
"HOI....HOI....HOIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII......"
selesai,-