Apel Dan Kebahagiaan
Dikisahkan dalam sejarah Islam, seorang pemuda alim bernama Abu Shalih. Ia adalah turunan ke-12 dari Rasulullah saw., dari garis Sayyidina Hasan as-Sibthi ra. Ia berasal dari desa Jilan, Iran.
Suatu siang, saat Abu Shalih tengah berdzikir dipinggir sungai, dilihatnya kumpulan buah apel yang hanyut terbawa aliran sungai.
Segera ia mengambilnya sebuah dan memakannya. Namun tiba-tiba, ia berhenti mengunyah. Ia merasa bersalah.
”Aku telah mencuri. Buah ini pasti ada yang memiliki. Aku harus menemui dan meminta maaf pada pemilik pohon apel yang buahnya telah kumakan tanpa seijinnya”, katanya dalam hati.
Abu Shalih lalu berjalan menyusuri sungai, hingga menemukan pohon apel tersebut. Segera ia menemui pemilik pohon apel itu, untuk meminta maaf.
Pemilik pohon apel itu bernama Syekh Abdullah, beliau adalah keturunan Sayyidina Husain ra. Beliau adalah seorang waliyullah yang sangat disegani pada masa itu.
Saat Abu Shalih menyampaikan permintaan maaf, Syekh Abdullah merasa senang dan takjub akan kebersihan hati pemuda Jilan ini.
Beliau lalu bermaksud ingin mengangkat Abu Shalih sebagai santrinya. Namun tidak secara transparan maksud itu disampaikannya.
”Baiklah, karena kau telah mencuri buah apel ku, maka kau harus bekerja di ladang ku selama 12 tahun”, kata Syekh Abdullah.
Tanpa banyak bertanya, Abu Shalih langsung menyanggupinya. Ia lalu bekerja sekaligus belajar agama kepada beliau.
Setelah tunai 12 tahun Abu Shalih membayar kesalahannya, ia lalu menemui gurunya Syekh Abdullah untuk menanyakan apakah permintaan maafnya sudah dapat diterima.
Bukan pernyataan bahwa maafnya telah diterima, Syekh Abdullah justru memberinya sebuah tugas baru.
”Aku akan menerima permintaan maafmu, bila kau bersedia ku nikahkan dengan putri ku, seorang wanita yang lumpuh, buta, tuli dan bisu”, kata Syekh Abdullah.
Seperti biasa Abu Shalih tidak banyak bertanya. Ia langsung menerima amanah tersebut, dengan harapan semoga permintaan maafnya diterima gurunya.
Tiga hari kemudian, dilangsungkanlah akad nikah dan walimatul 'urs (syukuran) antara Abu Shalih dengan wanita pilihan gurunya.
Malam hari, ketika hendak memasuki kamar pengantin, Abu Shalih terdiam sejenak.
”Ya Allah, aku pasrahkan hidup dan mati ku hanya pada Mu”, doanya didalam hati.
Dengan perlahan diketuknya pintu kamar pengantin tersebut, lalu ia membukanya dan masuk sambil mengucapkan salam.
Sang pengantin wanita menjawab salamnya. Abu Shalih terkejut bukan main, seorang wanita berparas cantik, datang menghampiri dengan senyum menghiasi wajahnya. Sembari meminta maaf, ia lalu keluar kamar. Merasa telah salah masuk kamar, ia kemudian mencari istrinya dikamar yang lain. Namun tidak juga ditemuinya.
Akhirnya Abu Shalih mendatangi Syekh Abdullah, untuk menanyakan dimanakah istrinya berada.
”Abi, bolehkah ku bertanya, dimanakah istriku berada?”, tanya Abu Shalih dengan ta’zim.
”Ya dikamar pengantin kalianlah”, jawab Syekh Abdullah sembari tersenyum.
”Tetapi wanita yang ku temui dikamar itu, tidak seperti yang dikatakan Abi. Ia tidak bisu dan tuli, ia menjawab salam ku. Ia juga tidak buta, justru matanya cantik sekali. Dan ia pun tidak lumpuh, ia malah menghampiri ku, saat ku memasuki kamar”, jelas Abu Shalih masih dengan wajah kebingungan.
Melihat kebingungan Abu Shalih, Syekh Abdullah malah tertawa terbahak-bahak. Usai tertawa beliau baru berkata,
“Wahai Abu Shalih, memang itulah putriku, Ummu Khair Fathimah. Ku katakan dia lumpuh karena dia tidak pernah menjejakan kakinya ke tempat maksiat. Buta karena dia tidak pernah melihat hal yang haram. Tuli karena dia tidak pernah mendengar hal yang khurafat (jelek). Dan bisu karena dia tidak pernah bertutur yang mubadzir (sia-sia)”.
Mengertilah Abu Shalih, bahwa amanah menikahi putri gurunya, adalah ungkapan kasih sayang dan rasa bangga Syekh Abdullah padanya.
Karena kesabaran dan kemuhasabahannya kepada guru dan amanahnya, Allah memberikan kepada Abu Shalih, amanah yang penuh anugrah.
Dari pernikahan ini, Abu Shalih dan Ummu Khair Fathimah, di anugrahi seorang putra bernama Abdul Qadir. Kelak setelah dewasa, putranya ini masyur sebagai seorang Wali Quthub, Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Sedangkan Abu Shalih sendiri dikenal dengan nama Syekh Abu Shalih Musa Jankai Dausat al-Jailani (berasal dari Jilan).
”Sementara beberapa orang berusaha menjaga amanah,
ada segelintir mereka justru bermain-main dengan amanah.
”Sementara beberapa orang merasa anugrah adalah amanah,
ada segelintir mereka justru menganggap amanah adalah anugrah.”
- Syekh Abu Shalih Musa Jankai Dausat al-Jailani –