Ini Penyebab Belanda Menyebut Aceh Sebagai Bangsa Maut

Bendera Aceh

Sejarah mencatat kolonialisme bangsa Belanda di nusantara adalah sekitar 350 tahun lamanya, sebelum akhirnya Indonesia memerdekankan diri di tahun 1945, bahkan setelah merdeka pun Belanda bersama sekutu masih ingin menguasai kembali Hindia Belanda dengan melakukan Agresi Militer. Di masa penjajahan, bangsa-bangsa terjajah di nusantara saat itu terkenal sangat gagah dan gigih berjuang mengusir penjajah.

Yang paling sulit tentu saja bangsa Aceh yang memang saat itu juga mendapat sokongan langsung dari imperium kuat Kesultanan Ottoman terutama di abad pertengahan. Selain itu bangsa Aceh memang sangat terkenal dengan jiwa patriotisme dan jihad yang menguat dan mengakar ditengah masyarakat. Tidak heran kaum penjajah sulit menaklukan Aceh, Belanda salah satunya yang mengakui kalau Aceh adalah ladang maut bagi tentara-tentara mereka.

Pernyataan Aceh sebagai Bangsa Maut disampaikan oleh Jendral Gerardus Petrus Booms. Alasan Pemerintah Kolonial Belanda menyebut Aceh sebagai bangsa maut, karena selama tiga abad sejarah kolonial, Belanda belum pernah mendapat pukulan sekeras di Aceh. Jendral Gerardus Petrus Booms selain memuji Aceh ia juga mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Aceh.

Ia menulis:

"Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,...met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte...die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong,die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte"

Yang artinya kurang lebih:

“Telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit ..... suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan.... Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat mengahadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air.”

Dalam sidang Palemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni, Belanda memberikan jaw
aban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu.: ”Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte. -- Kita telah menghadapai maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan.”

Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh baik pria maupun wanita. Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan H C Zentgraaff dalam buku Atjeh.

De atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht.”
Artinya:

“Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat mehhadapi maut, ia masih mampu meludahi muka si kaphe.”

Begitulah penghormatan Belanda terhadap kegigihan dan heroisme rakyat Aceh dalam perang. Pemerintah Kolonial Belanda benar-benar kehilangan bintang terangnya di Aceh. Empat jendral Belanda tewas di Aceh bersama ratusan opsir dan ribuan opsir bawahan. Kemegahan kuburan Belanda Peutjut Kerkhof menjadi bukti sejarah bangsa maut tersebut.

Nur Muhammad Al-Amin